Wednesday, August 10, 2005

Saudaraku



Wahai Saudaraku,
Ketika engkau gembira menikmati hidangan berbukamu…
Ramai saudara sebayamu…
Sedang merintih kelaparan, sedang berjuang merebut
sekeping roti yang bersarang,
Wahai Saudaraku,
Ketika engkau tertawa menikmati kemewahan….
Ramai saudaramu disana…
Menitiskan darah perjuangan, menangis sayu dalam kesejukan,
mengemis hiba menanti ihsan, tiada pakaian
apatah lagi tempat kediaman.
Wahai Saudaraku,
Ketika kita masih mampu bersenda gurau…
Pernahkah kita menangis kerana nasib saudara seIman?
Pernahkah kita menghulurkan tangan
menyelamatkan mereka?
Atau pernah bermimpi betapa sengsaranya mereka?
Atau kita hanya bermimpi memiliki syurga
tanpa mengalirkan peluh apatah lagi darah???
Wahai Saudaraku…kejamkah kita???
Atau pejamkan saja mata…
Biarkan mereka asal perut kita kenyang,
tidur kita lena, mandi kita selesa…..

*Di nukil semula dari karya Al-Hamasah

Monday, August 08, 2005

Sajak Berapi dari Tongkat Warrant @ Usman Awang

JENTAYU YANG LUKA (Untuk Wan Azizah)

Tiba-tiba dia bangkit
Dengan kelembutan yang tetap sopan
Berdiri di barisan paling hadapan
Sebagai pahlawan keadilan

Lama dulu wajahnya tersembunyi
Di belakang pemimpin berani sang suami
Mengintip dengan mata kecilnya
Segala tingkah dan senyuman pura-pura
Si pengampu yang bermuka dua
Si penyembah yang berjiwa hamba
Si pengemis segenggam laba

Dia adalah jentayu yang luka
Terbang mengepak menyonsong gumpalan awan
Mencakar menjeritkan kebebasan dan keadilan
Mencabar dunia yang semakin kejam.



SAUDARA ANWAR IBRAHIM
(Selamat Hari Lahir)

Palu telah dijatuhkan
Lama sebelum tanganmu terikat ke belakang
Kau gegar aras kayangan
Kekuasaan yang mula tergoncang

Sekali tanganmu terancung ke udara
Sejuta teriakan menyambutnya
Sekali suaramu terpancar ke angkasa
Sejuta gelombang gema menyahutnya


Demi sumpah perjuangan
Demi maruah keadilan
Tabah dan gagah
Tidak pernah menyerah.

Demi sumpah perjuangan
Demi maruah keadilan
Tabah dan gagah
Tidak pernah menyerah.



Gadis Kecil

Tubuh itu mengingatkan daku
sebatang pinang di desa sepi
kurus dan tinggi
ketika ribut besar
pohon sekitarnya rebah terkapar
dan pohon pinang tegak menanti
sinar matari pagi

Demikianlah gadis kecil itu
kurus seperti sebatang pinang
bertahun berulang-alik melalui
penjara kawat duri menemui
ayahnya yang bertahun pula sendiri
menentang tiap penderitaan
tabah dan beriman.

Gadis kecil itu mengagumkan daku
tenang dan senyuman yang agung
dengan sopan menolak pemberianku
'saya tak perlu wang, pak cik,
cukuplah kertas dan buku.'

Usianya terlalu muda
Jiwanya didewasakan oleh pengalaman
tidak semua orang mencapai kekuatan demikian
ketabahan yang unik, mempesonakan.
Bila aku menyatakan simpati dan dukaku
rasa pilu terhadapnya

sekali lagi dia tersenyum dan berkata:
'jangan sedih, pak cik, tabahkan hati
banyak anak-anak seperti saya di dunia ini.'

Aku jadi terpaku
dia, si gadis kecil itu menenteramkan
mengawal ombak emosiku
jangan sedih melihat derita pahitnya.
Alangkah malunya hati seorang lelaki dewas
yang mahu membela manusia derita terpenjara
menerima nasihat supaya tabah dan berani,
dari anak penghuni penjara sendiri?

Sepuluh anak seperti dia
akan menghapuskan erti seribu penjara.



Kurang Ajar

Sebuah perkataan yang paling ditakuti
Untuk bangsa kita yang pemalu.

Sekarang kata ini kuajarkan pada anakku;
Kau harus menjadi manusia kurang ajar
Untuk tidak mewarisi malu ayahmu.

Lihat petani-petani yang kurang ajar
Memiliki tanah dengan caranya
Sebelumnya mereka tak punya apa
Kerana ajaran malu dari bangsanya.

Suatu bangsa tidak menjadi besar
Tanpa memiliki sifat kurang ajar.




Penjual Air Batu

Pelan-pelan di pinggir jalan kota,
Penjual air batu suaranya ditelan deru kereta,
Ia bisa ditulikan dengan pekikan hon-hon,
Tuan-tuan yang terganggu bisa pula menghamun.

Undang-undang ialah suatu kekuasaan,
Yang biasanya untuk orang-orang bawahan,
Dan berseraklah orang-orang pakaian seragam,
Memburu tangkapan yang 'melanggar aturan'.

Anak-anak di bawah kolong, perutnya kosong,
Ah' ayah belum pulang, manakah dia?
Isteri menanti dengan hati separuh bingung,
Tunggulah, betapa ia pulang jua.

(Sampai gelap merangkak menghampiri,
Penjual air batu belum pulang lagi)

Tapi berapa kali tangkapan terjadi,
Ia usahakan untuk berjual mencari rezeki.

Bilakah ruang keadilan memberi isi,
Para penjaja dalam hayatnya wajah berseri?
Bila nanti undang-undang jadi perlindungan,
Semua manusia tanpa kasta menerima keadilan


Bunga Popi

Dari darah, dari nanah yang punah di tanah,
Rangka manusia kehilangan nyawa disambar senjata,
Hasil manusia gila perang membunuh mesra,
Bunga merah berkembang indah minta disembah.

Yang hidup tinggal sisa nyawa, penuh derita,
Kering, bongkok, cacat, tempang dan buta,
Perang dalam kenangan penuh kengerian,
Sekarang dalam kepahitan, dalam kesepian.

Yang lain kehilangan anak, suami dan kekasih,
Hilang pergantungan, hilang pencarian, hidup kebuluran,
Ribuan janda, ribuan kecewa, ribuan sengsara,
Jutaan anak-anak yatim hidup meminta-minta.

Manusia gila perang telah membunuh segala mesra!
Perang berlangsung mencari untung tanah jajahan!
Perang berlangsung membunuh anak dalam buaian!
Perang berlangsung menghancur lebur nilai kebudayaan!

Bunga popi bunga mayat perajurit bergelimpangan,
Bunga darah merah menyimbah, penuh kengerian,
Kami benci pada perang pembunuhan!
Kami rindu pada damai sepanjang zaman!



Pak Utih

I

Punya satu isteri mau dakap sampai mati,
Lima anak mau makan setiap hari,
Teratak tua digayuti cerita pusaka,
Sebidang tanah tandus untuk huma.

Kulit tangan tegang berbelulang,
Biasa keluarkan peluh berapa saja,
O Pak Utih, petani yang berjasa.

Tapi malaria senang menjenguk mereka,
Meski dalam sembahyang doa berjuta,
Dan Mak Utih bisa panggil dukun kampung,
Lalu jampi matera serapah berulang-ulang.

Betapa Pak Dukun dan bekalan pulang,
Wang dan ayam dara diikat bersilang.

II

Di kota pemimpin berteriak-teriak,
Pilihanraya dan kemerdekaan rakyat,
Seribu kemakmuran dalam negara berdaulat,
Jambatan mas kemakmuran sampai ke akhirat.

Ketika kemenangan bersinar gemilang,
Pemimpin atas mobil maju ke depan, dadanya terbuka,
Ah, rakyat tercinta melambaikan tangan mereka.

Di mana-mana jamuan dan pesta makan,
Ayam panggang yang enak di depan,
Datang dari desa yang dijanjikan kemakmuran.

Pak Utih masih menanti dengan doa,
Bapak-bapak pergi ke mana di mobil besar?



Balada Terbunuhnya Beringin Tua Di Pinggir Sebuah Bandaraya

Beringin tua di pinggir jalan raya
di sebuah ibu kota yang setengah muda
ratusan tahun usianya berdiri
menadah matari memayungi bumi
burung-burung berterbangan menyanyi
di sini rumah mereka, di sini keluarga bahagia
kupu-kupu berkejaran dalam senda guraunya
anak-anak bermain di keteduhan perdunya.

Tiba-tiba pagi yang hitam itu datang
geregasi teknologi menyerangnya
dengan kejam membenamkan gigi-gigi besi
sehingga terdengarlah jeritan ngeri
suara Beringin rebah ke bumi.

Sampai sekarang, tiap senjakala lembayung petang
dengarlah suara Beringin mengucapkan pesan:

Selamat tinggal, selamat tinggal wahai awan
Selamat tinggal matari selamat tinggal bulan
Selamat tinggal kupu-kupu sayang
Selamat tinggal wahai burung-burung bersarang
Selamat tinggal anak-anak bermain riang.

Namaku Beringin pohon tua yang terbuang
dimusuhi oleh rancangan bernama Pembangunan.


Satu Mei

Merekalah menyusun lapis-lapis besi waja
Merekalah membina batu-bata
Membancuhnya dengan titik peluh
- bangunan tinggi itu masih jua meminta
lalu diberikanlah nyawanya.

Merekalah yang menyedut udara kotor
Racun gas itu berbaur di rongga
menjalari saraf pernafasannya
menghentikan detak jantungnya
-segalanya untuk upah beberapa sen cuma.

Merekalah membunyikan mesin-mesin kilang
debu dan serbuk logam berterbangan
hari demi hari berkumpul bersarang
di jantung dan paru-parunya
-jentera kilang itu masih lagi meminta
lalu kudunglah jarinya
lalu kudunglah tangannya
lalu kudunglah nyawanya
segalanya untuk upah beberapa sen cuma.

Merekalah menggali perut bumi yang sakit
lumpur dan pasir memenuhi tiap rongga
tanah lombong yang selalu mengucapkan simpati
menimbusi membungkus tubuh para pekerja
melindunginya dari pemerasan kejam
-upah yang diterimanya sekadar beras segenggam.

Merekalah mewarisi pusaka zaman
seluar sehelai baju bertampal
tikar buruk di sudut bangsal
tulang selangka dapat dibilang.

Mereka kini menyedari kekuatan diri
Mengubah wajah sebuah negeri
Menukar nama seorang menteri
Di matanya api di tangannya besi.

Kekasih ( Usman Awang )


Akan kupintal buih-buih
menjadi tali mengikatmu

Akan kuanyam gelombang-gelombang
menjadi hamparan ranjang tidurmu

Akan kutenun awan-gemawan
menjadi selendang menudungi rambutmu

Akan kujahit bayu gunung
menjadi baju pakaian malammu

Akan kupetik bintang timur
menjadi kerongsang menyinari dadamu

Akan kujolok bulan gerhana
menjadi lampu menyuluhi rindu

Akan kurebahkan matari
menjadi laut malammu
menghirup sakar madumu

Kekasih,
hitunglah mimpi
yang membunuh realiti
dengan syurga ilusi.

NUKILAN USMAN AWANG...

Baju Melayu Indonesia



Ini adalah sebahagian dari baju Melayu buatan Indonesia yang dijual oleh rakanku dari Indonesia..( die blajar kat sane )..oklah..saje je.lawa jugak baju ni kan..
Oh ye,bagi kaum Hawa kain batek pun ader tau...ok.selamat beribadat semua!